Sunday 20 January 2013

Diskusi

Mendengarmu layaknya membaca buku
Yang setiap lembarnya tak pernah sepi
Dan penuh dengan catatan kaki
Bersamamu layaknya memperhatikan anak-anak sungai
Riaknya yang kadang menyeringai
Namun juga tenang seolah membuai

Di sela cerita pernah kamu menggambar sebuah sketsa
Ceritanya itu adalah rencana
Dua titik tergambar disana, katanya itu seperti kita
Tanganmu lincah menarik garis dari dua ujung yang berbeda
Ditengahnya, dua titik tadi bertemu muka
Seperti kita, dari kutub yang berbeda
Memiliki asa untuk satu cita

Tak mau kalah, aku coba melempar angan
Kali ini tentang rencana pertemuan
Pada satu masa, jika perjumpaan singgah di hadapan
Aku tawarkan harapan, bukan kenangan
Jika tampaknya masih kuat eksistensi perasaan
Aku beranikan merajut mimpi yang bersarang di pikiran

Kamu tersenyum, menggelengkan kepala
Seolah ada yang menggelitik tawa
Katamu, masih saja aku tidak percaya
Bahwa hidup kita sudah ada sutradaranya

Seperti orang yang membaca buku dan memandangi sungai
Aku hanyalah seorang pemerhati
Tapi katamu, jangan lah terlalu sering menjadi pemerhati
Ada kalanya harus siap jadi pemimpi yang memiliki aksi
Aku bukan takut bermimpi, hanya berusaha tetap menginjak bumi
Katamu, itu wujud ketakutan yang tidak disadari
Jika berani, apapun terlewati
Apalagi cuma jarak yang sementara dan sebentar lagi berhenti

Demi Ucok

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman pernah cerita tentang sebuah film, judulnya Demi Ucok. Aku, sebagai wanita batak, merasa perlu menonton film ini. Akhirnya setelah mencari-cari, ternyata cuma ada tiga bioskop di Jakarta yang menayangkan Demi Ucok. Dan hari ini, aku menyempatkan nonton. Awalnya bingung mengajak siapa, ternyata mama menawarkan diri. Ya baiklah, kembali nge-date dengan mama.

Demi Ucok bercerita mengenai keluarga batak. Sang ayah sudah meninggal dunia, menyisakan seorang ibu (Mak Gondut) dan anak perempuan tunggal (Gloria). Anaknya hobi membuat film dan menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi. Mak Gondut (Gondut ini jika diartikan adalah gendut) adalah seorang ibu rumah tangga dengan kegiatan yang seabrek. Memiliki keinginan yang sama seperti ibu-ibu lainnya, melihat anaknya menikah dan hidup berkecukupan. Gloria merupakan representasi anak muda zaman sekarang. Idealis dan pemimpi, kadang merasa lebih mengerti dan lebih yakin dibanding mendengarkan nasihat orang yang lebih tua.

Cerita diawali dengan Glo yang putus asa ingin membuat film karena tidak memiliki cukup modal. Penghasilannya sebagai dosen pun tidak juga mencukupi kebutuhan. Di sisi lain, Mak Gondut, ibu dari Glo, merasa dirinya semakin tua dan sudah saatnya mencarikan jodoh untuk anaknya. Saat Glo mengungkapkan betapa susahnya ia mencari produser untuk filmnya. Mak Gondut menjanjikan uang satu milyar asalkan Glo bisa menikah dengan orang batak. Kenapa harus dengan orang batak? Kutipan dari Mak Gondut:

"Tujuan hidup seorang wanita batak itu ada tiga. Punya suami batak, anak batak dan menantu batak".

Ada yang lucu dalam film ini. Menurut film ini, kasih ibu memang hanya memberi tak harap kembali (terms and conditions apply)! hahaha. Maksudnya ya seperti tadi. Mak Gondut akan mendanai film anaknya, asalkan anaknya mau menikah dengan orang batak.

Dengan semangat tersebut, Mak Gondut pontang-panting mencarikan jodoh untuk anaknya. Glo merasa risih dijodohkan akhirnya pergi meninggalkan rumah. Hubungan Ibu dan anak ini merenggang untuk beberapa lama. Hingga pada akhirnya, Mak Gondut sakit dan Glo merasa bersalah meninggalkan ibunya. Akhir cerita, Mak Gondut menolong anaknya mencarikan donasi demi film anaknya. Donasi tersebut dari perorangan, namun cukup untuk mendanai film Glo. Mak Gondut yang ternyata memiliki impian jadi artis akhirnya menjadi pemeran utama dalam film Glo. Glo pun membuka hatinya dan berjanji untuk mencari jodohnya. Aku suka kutipan terakhir Glo yang menjadi penutup film ini bahwa jodoh itu pasti akan datang. Kalau belum datang, pasti bisa didatangkan mami. 

Film ini benar-benar menghibur. Karakternya batak banget! Ditambah dialognya yang kuat. Terlepas dari budaya batak yang diangkat, film ini berusaha menggambarkan hubungan ibu-anak perempuan yang kompleks. Yang kadang berantem tapi kalau gak ketemu pasti saling nyariin. Senang sekali hari ini bisa menonton Demi Ucok sama mama. Sama-sama mengerti, begini lho harusnya jadi anak, begini lho ma, harusnya jadi ibu. Hehehe. Film ini merupakan film komedi yang tidak menjual lelucon yang murah. Lelucon yang ringan namun tetap menyimpan esensi yang dalam. Film ini juga bisa dikategorikan film drama, namun tidak perlu mendramatisir situasi dan dialognya.

Setelah menonton film ini, aku langsung merekomendasikan ke teman-teman khususnya para butet di luar sana, Tapi satu hal yang aku syukuri setelah menonton Demi Ucok. Untung yang batak ayahku, bukan ibuku. Kalau ibuku wanita batak, berarti harus cari jodoh batak dong ya? heheheh